A.
Proses Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia
Pada waktu kerajaan Sriwijaya
mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan ke-8, Selat Malaka sudah
mulai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri
di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan cerita Cina zaman T’ang, pada
abad-abad tersebut diduga masyarakat muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton)
maupun di daerah Sumatra sendiri. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang
bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur
mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Banu Umayyah di bagian
barat maupun kerajaan Cina zaman dinasti T’ang di Asia Timur serta kerajaan
Sriwijaya di Asia Tenggara (Tjandrasasmita &
Manus, 2010:1).
Peta masuknya Islam ke Indonesia
1.
Teori Gujarat
Teori ini
diperkenalkan oleh G.W.J. Drewes dan dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori
ini berisi bahwa agama Islam di Indonesia berasal dari Gujarat yang masuk pada
abad ke-13. Menurut Syam (2005:59-60), orang-orang Arab bermazhab Syafi’i yang
menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang mengembangkan Islam di Nusantara. Hurgronje
berpendapat bahwa ketika komunitas Islam di anak benua India—muslim
Deccan—telah kokoh, maka mereka mulai menyebarkan Islam ke tempat lain,
termasuk wilayah Nusantara dengan cara menjadi pedagang perantara yang
menghubungkan wilayah Timur Tengah dengan wilayah Asia Tenggara sambil
menyebarkan Islam. Selain itu, Mouqette berargumentasi bahwa berdasarkan
analisis terhadap batu nisan Malik Ibrahim ternyata sama dengan batu nisan di
Gujarat. Teori ini
berdasarkan atas sejumlah sumber, seperti tulisan-tulisan pada batu nisan dan
dari beberapa catatan perjalanan, antara lain yang di buat oleh seorang Vanezia
bernama Marcopolo dalam abad ke-13 dan oleh seorang Arab bernama Ibn Batutah
dalam abad ke-14 pada perinsipnya menyatahkan bahwa proses Islamisasi Indonesia
mulai berlangsung kira-kira setengah abad sebelum kota Bagdad ditaklukkan oleh
raja Mongol Hulagu pada tahun 1258 M (Baiti, 2014:134). Batu nisan tersebut
adalah batu nusan Sultan Malik Al-Saleh, dan batu nisan tersebut bercorak
Gujarat. Namun teori ini dianggap lemah sebab
ketika terjadi pengislaman di Nusantara, seperti kerajaan Samudra Pasai yang
raja pertamanya wafat pada 1297, Gujarat itu masih dikuasai oleh kerajaan
Hindu.
Batu
nisan Sultan Malik Al-Saleh
2.
Teori Arab atau Teori Mekkah
Teori ini
menyatakan bahwa Islam datang dari sumber aslinya yaitu Arab (Mekkah). Teori
ini dikuatkan oleh hasil seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia di Aceh,
yang dinyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia melalui saluran langsung dari
Arab abad pertama hijrah dan daerah yang mula-mula memeluk Islam adalah Aceh
(Hasyimi dalam Syam, 2005:61). Berdasarkan
berita-berita Cina yang berasal dari abad ke-7 M (zaman dinasti Tang) dan
sumber-sumber Jepang pada abad ke- 8 M, para ahli berpendapat bahwa orang-orang
Muslim dari Arab telah datang ke negeri-negeri Melayu, khususnya
Sumatera, pada abad ke-7 M (Baiti, 2014:136-137).Menurut
Hamka, ia menolak teori Gujarat yang mengatakan bahwa Islam masuk pada abad
ke-13 dengan alasan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada kenyataannya telah
terjadi jauh sebelum abad itu, yaitu sekitar abad ke-7 atau pada abad pertama
Hijriyah. Pada abad ke-13, Islam sudah berdiri menjadi kekuatan politik,
sehingga untuk masuknya agama Islam ke Indonesia, pasti jauh sebelum itu.
Adapun tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah Crawfurd dari Mesir, Keyzer,
Niemann dan lain-lainnya (Hidayatullah, 2014:8).
3.
Teori Persia
Pendukung teori
ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat, yang berpendapat bahwa agama Islam yang
masuk dan berkembang di Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, itu
terjadi sekitar abad ke-13. Ia membandingkan kebudayaan Islam yang berkembang
di Nusantara, dan banyak memiliki kesamaan dengan kebudayaan Islam yang ada di
Persia, di antaranya adalah:
·
Peringatan Asyura atau 10
Muharram sebagai peringatan atas Syahidnya Husein.
· Kesamaan antara Syaikh
Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj, meskipun al-Hallaj telah
meninggal pada abad ke-10, akan tetapi ajarannya terus berkembang dalam bentuk
puisi.
·
Penggunaan istilah bahasa
Iran dalam sistem mengeja atau membaca huruf Arab.
·
Berkembangnya mazhab
Syafi’i di Nusantara.
B.
Jalur-jalur Penyebaran Islam di Indonesia
a.
Perdagangan
Pada
taraf permulaan, di antara saluran islamisasi yang pernah berkembang di
Indonesia adalah perdagangan. Hal itu sejalan dengan kesibukan lalu lintas
perdagangan abad ke-7 hingga abad ke-16. Pada saat itu pedagang-pedagang muslim
(Arab, Persia, India) turut serta ambil bagian dalam perdagangan dengan
pedagang-pedagang dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur benua
Asia. Penggunaan perdagangan sebagai saluran islamisasi sangat menguntungkan
karena bagi kaum muslim tidak ada pemisahan antara kegiatan berdagang dan
kewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada pihak-pihak lain (Tjandrasasmita
& Manus, 2010:169). Tampaknya,
para pedagang muslim sudah ada di sebagian wilayah Indonesia selama beberapa
abad sebelum Islam menjadi agama yang mapan dalam masyarakat-masyarakat lokal
(Ricklefs, 2008:3). Pedagang Muslim yang datang ke pusat perdagangan di
wilayah-wilayah yang asing kemungkinan besar tak bias kembali dengan segera.
Mereka menunggu barang dagangan mereka terjual agar bisa membeli barang
dagangan setempat dan membawanya kembali ke negeri mereka. Selain itu,
pelayaran kembali mereka tergantung pada musim. Karena itu, dalam banyak hal
proses ini menghabiskan waktu berbulan-bulan sebelum mereka bisa berangkat.
Biasanya mereka tinggal berkelompok di perkampungan di dekat pelabuhan kota.
Perkampungan jenis ini sering disebut “Pakojan” yang berarti sebuah kampung
pedagang Muslim yang datang dari Arab, Persia, India, Tamil, dan lain-lain
(Tjandrasasmita, 2009:22).
b.
Perkawinan
Hubungan
antara kelompok pedagang Muslim dan komunitas lokal diwujudkan secara bertahap.
Lewat komunikasi jenis inilah proses islamisasi terjadi. Lebih-lebih ketika
perkawinan terjadi antara pedagang Muslim dan penduduk lokal sehingga keluarga
Muslim yang besar terbentuk (Tjandrasasmita, 2009:22). Perkawinan merupakan
salah satu saluran islamisasi yang paling mudah, Karena ikatan perkawinan itu
sendiri sudah merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari kedamaian di antara
individu yang terlibat. Individu-individu yang terlibat, yaitu sumai dan istri,
membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat, berarti membentuk inti
masyarakat muslim. Kemudian dari perkawinan itu membentuk pertalian kekerabatan
yang lebih besar antara keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan.
Saluran islamisasi melalui perkawinan itu lebih menguntungkan lagi apabila
terjadi antara saudagar, ulama, atau golongan lain, dengan anak bangsawan atau
anak raja dan adipati. Lebih menguntungkan karena status sosial—ekonomi,
terutama politik raja-raja, adipati-adipati, dan bangsawan pada waktu itu turut
mempercepat islamisasi (Tjandrasasmita &
Manus, 2010:170-171).
c.
Tasawuf
Tasawuf merupakan ajaran-ajaran Islam yang dipadukan
dengan unsur misti atau hal-hal yang bersifat magis. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk
kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti jelas pada
tulisan-tulisan antara abad ke-13 dan ke-18. Hal itu bertalian langsung dengan
penyebaran Islam di Indonesia, memegang peran suatu bagian yang penting dalam
organisasi masyarakat kota-kota pelabuhan. Sifat spesifik tasawuf menyajikan
ajarananya kepada bangsa Indonesia yang pernah dikemukakan oleh A.H. Johns:
Mereka
adalah guru-guru pengembara yang menjelajahi seluruh dunia yang dikenal, mereka
dengan sukarela menghayati kemiskinan, mereka sering kali juga berhubungan
dengan perdagangan atau serikat tukang kerajinan menurut tarekat mereka
masing-masing; mereka mengajarkan teosofi yang telah bercampur, yang dikenal
luas oleh bangsa Indonesia tetapi yang sudah menjadi keyakinannya, meskipun
suatu peluasan fundamental kepercayaan Islam.mereka mahir dalam soal-soal magis
dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan dan tidak berakhir disitu saja,
dengan sadar atau tidak mereka bersiap untuk memelihara kelanjutan dengan masa
lampau dan menggunakan istilah-istilah dan anasir-anasir budaya pra-islam dalam
hubungan islam. Guru-guru tasawuf ini dengan kebajikan kekuasaannya dan
kekuatan magisnya dapat mengawini putri-putri bangsawan Indonesia, dan dengan
demikian anak-anak mereka dapat pengaruh keturunan darah raja, tambahan untuk
mendewakan sinar karisma keagamaan (Tjandrasasmita & Manus, 2010:171-172).
d.
Pendidikan
Islamisasi juga
dilakukan melalui pendidik, baik dalam pesantren maupun pondok yang
diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Pesantren
atau pondok merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam.
Seperti telah diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu bahwa pembinaan calon
guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama justru dilakukan di
pesantren-pesantren. Setelah keluar dari pesantren, mereka kembali ke tiap-tiap
kampung atau desanya. Di tempat-tempat asal, mereka akan menadi tokoh
keagamaan, menjadi kiai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Dengan demikian,
pesantren-pesantren beserta kiai-kiai berperan penting dalam proses pendidikan
masyarakat. Semakin terkenal seorang kiai, semakin terkenal pula pesantrennya
dan pengaruhnya akan mencapai radius lebih jauh lagi (Tjandrasasmita &
Manus, 2010:172).
Santri-santri yang sedang belajar
e.
Dakwah
Dakwah
merupakan salah satu saluran yang digunakan untuk menyebarkan Islam di Nusantara.
Dalam proses islamisasi di Nusantara, tidak lepas dari peranan para wali atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Wali songo (Sembilan wali). Ke-sembilan wali
yang turut andil dalam penyebaran Islam di Nusantara yaitu Sunan Ampel (Raden
Rahmat), Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan
Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Drajat, Sunan Muria (Raden Umar Said), Sunan
Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Istilah wali yang
diberikan kepada semua tokoh itu adalah kata Arab (yang berarti ‘orang suci’),
sedangkan gelar “sunan” yang mereka pakai adalah kata Jawa (Ricklefs,
2008:17—18). Proses islamisasi melalui dakwah juga tidak terlepas dari adanya
pesantren. Santri-santri yang telah lulus dari pesantren kembali ke daerahnya
dan menyebarkan Islam.
f.
Kesenian
Saluran dan islamisasi
lain dapat pula melalui cabang-cabang kesenian seperti seni bangunan seni pahat
atau ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Hasil-hasil seni bangunan
pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, antara lain
masjid-masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid
Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Ternate dan sebagainya. Di Indonesia,
masjid-masjid kuno menunjukan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk
persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal,
atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi oleh parit atau
kolam air pada bagian depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian lain
seperti mihrab dengan lengkung dengan pola kalamakara, mimbar yang mengingatkan
ukir-ukiran pola teratai, mastaka atau memolo, jelas menunjukan pola-pola seni
bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Masjid Agung Demak
Beberapa masjid
kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada
zaman Indonesia-Hind (Tjandrasasmita & Manus, 2010:173). Saluran dan
islamisasi melalui seni bangunan dan seni ukir sesuai pula dengan saluran dan
cara melalui seni tari, musik, sastra dan lain-lain. Dalam upacara-upacara
keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukan seni tari atau musik
tradisional, misalnya gamelan yang disebut sekaten yang terdapat dikeraton
Cirebon dan Yogyakarta dibunyikan pada perayaan Grebeg Maulud. Berdasarkan
babad dan hikayat, di keraton-keraton lama terdapat gamelan, tarian seperti
dedewan debus, birahi, bebeksan yang diselenggarakan pada upacara tertentu.
Bahkan diantara seni yang terkenal dijadikan alat islamisasi adalah pertunjukan
wayang. Menurut cerita, Sunan Kalijaga merupakan tokoh yang paling mahir dalam
mementaskan wayang.
Pertunjukan wayang yang digunakan pada proses Islamisasi di Indonesia
Sunan Kalijaga
tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta agar para penonton
mengikutinya mengucapkan kalimat Syahadat. Sebagian besar cerita wayang asih
dipetik dari Mahabarata dan Ramayana, tetapi sedikit demi sedikit nama tokoh-tokohnya
adalah pahlawan Islam. Nama pahah Kalimasada, suatu senjata paling ampuh, dalam
lakon wayang dihubungkan dengan Kalimat Syahadat, ucapan yang berisi pengakuan
kepada Allah dan Nabi Muhammad, Kalimat Syahadat merupakan tiang pertama dari
rukun Islam. Islamisasi melalui seni sastra juga dilakukan secara sedikit demi
sedikit seperti terbukti dalam naskah-naskah lama masa peralihan kepercayaan
yang ditulis dalam bahasa dan huruf daerah, primbon-primbon abad ke-16 yang
anara lain disusun oleh Sunan Bonang (Tjandrasasmita & Manus, 2010:174).
Faktor Pendukung Penyebaran Islam
Penyebaran agama
Islam atau islamisasi di Indonesia dapat berkembang secara cepat, itu didukung
oleh beberapa faktor, antara lain:
a)
Islam disebarkan dengan
cara damai, yaitu dakwah, pernikahan dan diakulturasikan dengan seni-seni yang
disenangi orang Indonesia.
b)
Islam adalah agama
universal, tidak memandang kasta dan menganggap semua orang itu sama, sehingga
mudah memikat hati rakyat kebanyakan yang merasa ditindas oleh kasta yang lebih
tinggi.
c)
Cara masuk Islam sangat
mudah, dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
d)
Letak geografis Indonesia
sebagai salah satu wilayah pusat dagang, menjadikan banyak orang-orang Arab,
India, Cina dan lainnya yang beragama Islam saling berbaur dan semakin mudah
melakukan penyebaran agama Islam.
Komentar
Posting Komentar